Serpihan Kisah, bersama Galis Dajah. Madura Punya Cerita...
Beginilah kisahnya, selamat membaca :
BINA
DESA
Ketika senja mulai menyapa, nyanyian
burung terdengar menyambut mesra, menapak kaki pada bebatuan kerikil kecil yang
berserakan dimana-mana, batu kotak ditepi jalan, membentuk sebuah barisan,
tersipu dengan tanah becek bekas gerimis hujan, sejuk, dingin, mulai merangkul
persahabatan, saling membantu, gotong royong membawa barang bawaan dari balai
desa ke penginapan, bukan penginapan sih, lebih tepatnya sekolah yang dijadikan
sebagai tempat tidur kita selama lima hari kedepan, yah, mungkin itu lebih
benar adanya.
Yayasan Roudlotul Ulum (RU) merupakan salah satu sekolah
terbesar dan termaju di desa Galis Dajah, dengan tembok sekolah yang retak
membentuk goresan rusak, ruang kelas yang hanya berjumlah 12 kelas, ruang kelas
yang tak memiliki jendela, hanya ada kayu berlubang pada sisi kiri kanan kelas
dan lima pintu bagus (layak) dari jumlah seluruh kelas. Lantai yang masih belum
kramikan, cat tembok kusam, kotor, rusuh, kumuh, bangku yang tak ada kursinya,
duduk dilantai semen (Plesteran). Disamping sekolah ini, terdapat rumah warga,
dan disanalah kami tidur.
Saat memasuki kamar yang akan kami tempati, inilah istana
tidur kami, tembok batu bata merah yang masih polos tanpa ada yang menutupinya,
lantai tanah liat berselimut tikar kain desa, langit-langit dari sarang
laba-laba sehingga mata langsung tembus memandang genting yang kelihatannya
telah rapuh tua dimakan usia. Gelap gulita jika mendung seperti sekarang ini,
belum ada lampu. Inilah istana tidur kita. Miris melihatnya.
Kami
mendirikan dapur kecil dilorong depan pintu istana tidur. Sebab itulah, semakin
lengkap sudah penderitaan setiap panitia yang melewatinya atau hanya sekedar
melihatnya. Kami ingin menangis ketika memasuki kamar mandi, WC pun tak ada,
yang ada hanyalah jamban yang terletak di balai desa sana, jauh jarak yang
ditempuh jika dengan jalan kaki dari penginapan kami, letih, capek, penuh
perjuangan menahan sakit perut dan berjalan jauh ke balai desa hanya untuk
membuang hajat. Tak mengenal air bening disana, air bau, abu-abu kehitaman atau
kecoklatan pun tak apa, sudah ada air saja sudah Alhamdulillah.
Adzan
maghrib berkumandang dari masjid, masjid yang besar dan baru dibangun, tak ada
cat, tak ada kramik, dan tak ada tempat wudhu. Terlebih ketika grimis mulai
menyambut, membuat kami malas mengangkat kaki ke masjid. Tapi kami panitia bina
desa yang sholeh-sholehah, kami tak bisa meninggalkan kewajiban sholat begitu
saja, apapun yang terjadi disana, kami tetap mengusahakan berangkat ke masjid
untuk menunaikan sholat berjamaah.
Lima
hari adalah hari yang berharga dan istimewa bagi warga desa Galis Dajah maupun
kami panitia. Mulai dari pembukaan acara bina desa di balai desa, pelaksanaan
periksa kesehatan gratis, seminar, Try Out untuk kelas enam MI, kelas
tiga Mts dan kelas tiga MA. Penumbuh dan peningkatan motivasi untuk tetap
melanjutkan kuliah bagi adik-adik MA kelas tiga. Mengadakan lomba antar kelas,
mengajar di tiga yayasan yang biasa kami sebut dengan yayasan RU, MU, ZU. Dan dimasing-masing
yayasan itu, kami mengajar anak-anak Paud, TK, MI, Mts, dan juga MA.
Betapa
tercengangnya ketika mengetahui dalam satu sekolah yang kami ajar, ternyata
hanya ada 11 murid dari jumlah seluruh kelas di sekolah tersebut. Kelas satu
yang hanya berjumlah dua orang. Kelas dua berjumlah satu orang. Kelas tiga tak
ada muridnya. Kelas empat berjumlah tiga orang. Kelas lima berjumlah dua orang.
Dan yang kelas enam berjumlah tiga orang. Rasanya hati sakit tertusuk memelas
mengetahuinya.
Banyak
dari lulusan MA, Mts bahkan yang masih lulusan MI yang langsung menikah tanpa
melanjutkan sekolahnya. Mereka masih memiliki fikiran, buat apa sekolah, apa
untungnya, lagi pula sekolah tidak akan bisa merubah kehidupan kita, kita akan
tetap miskin dan tinggal di desa. Meskipun seandainya sekolah pun tetap saja
tak ada buku buat kita, tak ada guru yang mau mengajar kita, pemerintah pun tak
melirik kita. Lalu untuk apa itu semua, percuma, lebih baik kita bekerja ke
sawah dan membantu orang tua, itu lebih baik dari pada sekolah. Sekolah bagi
mereka tak ada gunanya.
Masih
banyak warga desa Galis Dajah yang tidak bisa berbicara bahasa indonesia,
mereka menggunakan bahasa daerahnya untuk bercakap-cakap dengan kami, yakni
bahasa Madura. Ingin tertawa, tapi bingung juga menjawabnya, sebab kebanyakan
dari kami tidak mengerti bahasa mereka dan tidak tau apa arti dari yang mereka
ucapkan. Beruntung, kami menemukan beberapa pemuda yang bisa berbahasa
indonesia sehingga bisa menjadi translator kami, kami pun bisa berbicara
dengan mereka walau harus melalui proses yang panjang dan lama sebab ada translator.
Pada
malam terakhir kami berada di desa Galis Dajah, kami melaksanakan acara puncak
sekaligus sebagai penghujung acara (acara penutup) dari program Bina Desa HMJ
Biologi Unesa 2016 ini. Pentas Seni yang diramaikan oleh penampilan-penampilan
dari adek-adek didik perwakilan masing-masing sekolah. Tak seperti yang kami
perkirakan, penontonnya ternyata begitu banyak, membludak, acara yang menurut
kami adalah acara kecil-kecilan sederhana, ternyata bagi mereka hal seperti ini
layaknya acara besar desa yang harus dihadiri oleh semua elemen warga dan
mereka merasa rugi jika tidak datang melihatnya, sebab jarang-jarang ada
pertunjukan yang ada panggungnya. Begitulah kiranya.
Kami
datang pada hari Rabu tanggal 25 Januari 2016, dan kami pergi kembali pulang ke
Surabaya hari Minggu tanggal 29 Januari 2016. Pas lima hari telah kami lalui,
begitu banyak kesan, pengalaman, kesedian, kebahagiaan, rasa syukur yang kami
panjatkan. Hal yang menyentuh hati adalah ketika kami berpamitan kepada
adik-adik didik kami, dan mereka menangis tak rela akan kepergian kami ke
Surabaya. Banyak air mata yang mengalirkan lara. Desa Galis Dajah-Madura-
terimakasih atas segalanya. Engkau mengajarkan kepada kami bahwa ternyata di
Indonesia masih banyak daerah yang tertinggal dan rendah pendidikannya (R).
0 komentar