Minggu, Februari 14, 2016

Bina Desa: Serpihan Kisah Galis Dajah

Serpihan Kisah, bersama Galis Dajah. Madura Punya Cerita...

Beginilah kisahnya, selamat membaca :

BINA DESA

            Ketika senja mulai menyapa, nyanyian burung terdengar menyambut mesra, menapak kaki pada bebatuan kerikil kecil yang berserakan dimana-mana, batu kotak ditepi jalan, membentuk sebuah barisan, tersipu dengan tanah becek bekas gerimis hujan, sejuk, dingin, mulai merangkul persahabatan, saling membantu, gotong royong membawa barang bawaan dari balai desa ke penginapan, bukan penginapan sih, lebih tepatnya sekolah yang dijadikan sebagai tempat tidur kita selama lima hari kedepan, yah, mungkin itu lebih benar adanya.
            Yayasan Roudlotul Ulum (RU) merupakan salah satu sekolah terbesar dan termaju di desa Galis Dajah, dengan tembok sekolah yang retak membentuk goresan rusak, ruang kelas yang hanya berjumlah 12 kelas, ruang kelas yang tak memiliki jendela, hanya ada kayu berlubang pada sisi kiri kanan kelas dan lima pintu bagus (layak) dari jumlah seluruh kelas. Lantai yang masih belum kramikan, cat tembok kusam, kotor, rusuh, kumuh, bangku yang tak ada kursinya, duduk dilantai semen (Plesteran). Disamping sekolah ini, terdapat rumah warga, dan disanalah kami tidur.
            Saat memasuki kamar yang akan kami tempati, inilah istana tidur kami, tembok batu bata merah yang masih polos tanpa ada yang menutupinya, lantai tanah liat berselimut tikar kain desa, langit-langit dari sarang laba-laba sehingga mata langsung tembus memandang genting yang kelihatannya telah rapuh tua dimakan usia. Gelap gulita jika mendung seperti sekarang ini, belum ada lampu. Inilah istana tidur kita. Miris melihatnya.
Kami mendirikan dapur kecil dilorong depan pintu istana tidur. Sebab itulah, semakin lengkap sudah penderitaan setiap panitia yang melewatinya atau hanya sekedar melihatnya. Kami ingin menangis ketika memasuki kamar mandi, WC pun tak ada, yang ada hanyalah jamban yang terletak di balai desa sana, jauh jarak yang ditempuh jika dengan jalan kaki dari penginapan kami, letih, capek, penuh perjuangan menahan sakit perut dan berjalan jauh ke balai desa hanya untuk membuang hajat. Tak mengenal air bening disana, air bau, abu-abu kehitaman atau kecoklatan pun tak apa, sudah ada air saja sudah Alhamdulillah.
Adzan maghrib berkumandang dari masjid, masjid yang besar dan baru dibangun, tak ada cat, tak ada kramik, dan tak ada tempat wudhu. Terlebih ketika grimis mulai menyambut, membuat kami malas mengangkat kaki ke masjid. Tapi kami panitia bina desa yang sholeh-sholehah, kami tak bisa meninggalkan kewajiban sholat begitu saja, apapun yang terjadi disana, kami tetap mengusahakan berangkat ke masjid untuk menunaikan sholat berjamaah.
Lima hari adalah hari yang berharga dan istimewa bagi warga desa Galis Dajah maupun kami panitia. Mulai dari pembukaan acara bina desa di balai desa, pelaksanaan periksa kesehatan gratis, seminar, Try Out untuk kelas enam MI, kelas tiga Mts dan kelas tiga MA. Penumbuh dan peningkatan motivasi untuk tetap melanjutkan kuliah bagi adik-adik MA kelas tiga. Mengadakan lomba antar kelas, mengajar di tiga yayasan yang biasa kami sebut dengan yayasan RU, MU, ZU. Dan dimasing-masing yayasan itu, kami mengajar anak-anak Paud, TK, MI, Mts, dan juga MA.
Betapa tercengangnya ketika mengetahui dalam satu sekolah yang kami ajar, ternyata hanya ada 11 murid dari jumlah seluruh kelas di sekolah tersebut. Kelas satu yang hanya berjumlah dua orang. Kelas dua berjumlah satu orang. Kelas tiga tak ada muridnya. Kelas empat berjumlah tiga orang. Kelas lima berjumlah dua orang. Dan yang kelas enam berjumlah tiga orang. Rasanya hati sakit tertusuk memelas mengetahuinya.
Banyak dari lulusan MA, Mts bahkan yang masih lulusan MI yang langsung menikah tanpa melanjutkan sekolahnya. Mereka masih memiliki fikiran, buat apa sekolah, apa untungnya, lagi pula sekolah tidak akan bisa merubah kehidupan kita, kita akan tetap miskin dan tinggal di desa. Meskipun seandainya sekolah pun tetap saja tak ada buku buat kita, tak ada guru yang mau mengajar kita, pemerintah pun tak melirik kita. Lalu untuk apa itu semua, percuma, lebih baik kita bekerja ke sawah dan membantu orang tua, itu lebih baik dari pada sekolah. Sekolah bagi mereka tak ada gunanya.
Masih banyak warga desa Galis Dajah yang tidak bisa berbicara bahasa indonesia, mereka menggunakan bahasa daerahnya untuk bercakap-cakap dengan kami, yakni bahasa Madura. Ingin tertawa, tapi bingung juga menjawabnya, sebab kebanyakan dari kami tidak mengerti bahasa mereka dan tidak tau apa arti dari yang mereka ucapkan. Beruntung, kami menemukan beberapa pemuda yang bisa berbahasa indonesia sehingga bisa menjadi translator kami, kami pun bisa berbicara dengan mereka walau harus melalui proses yang panjang dan lama sebab ada translator.
Pada malam terakhir kami berada di desa Galis Dajah, kami melaksanakan acara puncak sekaligus sebagai penghujung acara (acara penutup) dari program Bina Desa HMJ Biologi Unesa 2016 ini. Pentas Seni yang diramaikan oleh penampilan-penampilan dari adek-adek didik perwakilan masing-masing sekolah. Tak seperti yang kami perkirakan, penontonnya ternyata begitu banyak, membludak, acara yang menurut kami adalah acara kecil-kecilan sederhana, ternyata bagi mereka hal seperti ini layaknya acara besar desa yang harus dihadiri oleh semua elemen warga dan mereka merasa rugi jika tidak datang melihatnya, sebab jarang-jarang ada pertunjukan yang ada panggungnya. Begitulah kiranya.
Kami datang pada hari Rabu tanggal 25 Januari 2016, dan kami pergi kembali pulang ke Surabaya hari Minggu tanggal 29 Januari 2016. Pas lima hari telah kami lalui, begitu banyak kesan, pengalaman, kesedian, kebahagiaan, rasa syukur yang kami panjatkan. Hal yang menyentuh hati adalah ketika kami berpamitan kepada adik-adik didik kami, dan mereka menangis tak rela akan kepergian kami ke Surabaya. Banyak air mata yang mengalirkan lara. Desa Galis Dajah-Madura- terimakasih atas segalanya. Engkau mengajarkan kepada kami bahwa ternyata di Indonesia masih banyak daerah yang tertinggal dan rendah pendidikannya (R).
Load disqus comments

0 komentar